Rabu, 25 Mei 2016

at-Tawabi’ul li al- Marfu, dan al-Fi’lu al- Mudhari’ li al- Marfu’.




  at-Tawabi’ul li al- Marfu, dan al-Fi’lu al- Mudhari’ li al- Marfu’.

BAB I
PENDAHULUAN
                   A.    Latar Belakang
Penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari- hari adalah salah satu point penting untuk dipelajari, baik bagi non akademisi ataupun akademisi, karena pada era globalisasi ini tata cara penggunaan bahasa dalam kata atau kalimat merupakan suatu hal yang penting. Tak hanya bahasa Indonesia yang wajib untuk dipelajari, tetapi ada bahasa Inggris dan bahasa Arab yang seharusnya kita pelajari.
Dalam paragraph sebelumnya, penulis menuliskan bahwasanya bahasa Arab merupakan salah satu bahasa yang penting untuk dipelajari. Mengapa demikian ? Karena bahasa Arab sendiri itu merupakan bahasa al-Quran dan juga ketika kita menemukan suatu kalimat dalam bahasa Arab yang tidak ada syakal (harkat) kita tidak akan bisa membaca dan menerjemahkan kalimat tersebut sebagaimana mestinya. Salah satu point penting ketika kita belajar bahasa Arab adalah mempelajari Ilmu Nahwu.
Definisi ilmu nahwu adalah kaidah kaidah untuk mengenal bentuk kata- kata dalam bahasa Arab serta kaidah- kaidahnya berupa kata ataupun kalimat. Dalam ilmu nahwu terdapat banyak yang dipelajari seperti isim, fi’il,  i’rab. Jar- majrur, marfu’ manshub, at_tawabi’, dsb.
Di dalam makalah ini penulis akan menjabarkan sedikit mengenai seputar yang dibaca marfu’ yang didalamnya ada Khabar Inna beserta saudara-saudaranya, at-Tawabi’ul li al- Marfu, dan al-Fi’lu al- Mudhari’ li al- Marfu’.
              B.     Rumusan Masalah
1.        Apa pengertian Khabar Inna beserta saudara- saudaranya ?
2.        Apa pengertian Al-Tawabi’ li marfu’ (Ataf, Na’at, Badal, Taukid) ?
3.        Apa pengertian al-Fi’lu al-Mudari’ li al-Marfu’ ?
                C.    Tujuan
1.        Mahasiswa  mampu memahami tentang Khabar Inna beserta saudara- saudaranya.
2.        Mahasiswa  mampu memahami tentang Al-Tawabi’ li marfu’ (Ataf, Na’at, Badal, Taukid).
3.        Mahasiswa  mampu memahami tentang al-Fi’lu al-Mudari’ li al-Marfu’.


















BAB II
PEMBAHASAN

                    A.    Khabar Inna beserta saudaranya
 Dalam makalah ini sebelum penulis menjabarkan tentang Khabar Inna beserta saudara- saudaranya ada baiknya kita mengetahui apa itu Mubtada’ dan Khabar. Untuk istilah mubtada’ dan khabar dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai “adalah” atau bisa disebut mubtada’ sebagai subjek dan khabar sebagai predikat.
1.         Mubtada’
Mubtada’ adalah kata benda yang di-rafa-kan yang dijadikan pokok kalimat (subjek) dan biasanya disebutkan diawal kalimat sehingga di-rafa-kan bukan karena suatu faktor (amil) tidak seperti pelaku (fa’il), fa’il di-rafa-kan karena jatuh sesudah kata kerja aktif (fi’il ma’lum). Sedangkan mubtada’ di-rafa-kan karena faktor maknawi yaitu ia (mubtada’) terletak dipermulaan kalimat saja.[1] Contoh :
وارضاللهِ واسعةٌ = dan bumi Allah itu luas (QS. 39 : 10).
رسول اللهِ كريم = Rasulullah itu mulia.
Kata وارضاللهِ (bumi Allah) dan رسول اللهِ (Rasulullah) adalah benda yang di rafakan yang dijadikan pokok kalimat atau mubtada’ dan terletak di permukaan.
Mubatada’ dibagi beberapa bagian diantaranya adalah sebagai berikut :
a)      Mubtada’ berupa kata benda yang tampak (isim dzahir).
Contoh :
المسلم كريم = Orang islam laki- laki itu mulia.
المسلمان كريمانِ = Dua orang islam laki- laki itu mulia.
المسلمون كريمون = Orang- orang Islam laki- laki itu mulia.
المسلمة كريمة = Orang islam perempuan itu mulia.
المسلمتان كريمتانِ = Dua orang islam perempuan itu mulia.
المسلمات كريماتٌ =Orang- orang Islam perempuan itu mulia.
Pada contoh tersebut (dua)  المسلمم(orang Islam laki- laki), المسلمان (dua orang Islam laki-laki), المسلمون (orang- orang Islam laki- laki),  المسلمة(orang Islam perempuan),  المسلمتان(dua orang Islam perempuan), dan السلمات (orang- orang Islam perempuan) adalah kata benda yang tampak atau isim dzahir. Dalam contoh nomor 2 ini jika mubtada’nya kata benda tunggal laki-laki (isim mufrad mudzakkar), maka khabarnya pun harus benda tunggal laki- laki (isim mufrad mudzakkar), jika mubtada’nya kata benda laki- laki yang menunjukkan dua (isim mutsanna mudzakkar), khabarnya pun harus kata benda yang menunjukkan dua (isim mutsanna mudzakkar), jika mubtada’nya kata benda jamak laki- laki (jamak muzakkar salim) maka khabarnya pun harus kata benda jamak laki- laki (jamak mudzakkar salim). Demikian juga jika mubtada’nya kata benda tunggal perempuan(isim mufrad muannats), maka khabarnya pun harus benda tunggal perempuan (isim mufrad muannats), jika mubtada’nya kata benda perempuan yang menunjukkan dua (isim mutsanna muannats), khabarnya pun harus kata benda yang menunjukkan dua (isim mutsanna muannats), jika mubtada’nya kata benda jamak perempuan (jamak muannats salim) maka khabarnya pun harus kata benda jamak perempuan (jamak muannats salim).
b)     Mubtada’ yang berupa kata ganti yang terpisah (isim dhamir munfashil), adalah dimana kata ganti (isim dhamir) dijadikan sebagai mubtada’ (pokok kalimat). Contoh :
Makna
Khabar
Mubtada’
Dia (laki-laki) adalah seorang hamba
عَا بِدٌ
هو
Mereka berdua (laki-laki) adalah dua orang hamba
عَا بِدَانِ
هما
Mereka laki-laki (lebih dari dua) adalah hamba- hamba
عَا بِدُونَ
هم
Dia (perempuan) adalah hamba
عَا بِدَةٌ
هي
Mereka berdua perempuan adalah dua orang hamba
عَا بِدَاتَانِ
هما
Mereka perempuan (lebih dari dua) adalah hamba- hamba
عَا بِيدَتٌ
هنّ
Kamu laki- laki adalah hamba
عَا بِدٌ
انتَ
Kamu berdua (laki- laki) adalah dua orang hamba
عَا بدانَ
انتما
Kamu semua laki- laki (lebih dari dua orang) adalah hamba- hamba
عَا بدونَ
انتم
Kamu perempuan adalah seorang hamba
عَا بِدَةٌ
انتِ
Kamu berdua perempuan adalah dua orang hamba
عَا بدتَانِ
انتما
Kamu semua perempuan (lebih dari dua orang) adalah hamba- hamba
عا بِداتٌ
انتنَّ
Saya adalah seorang hamba
عَا بِدٌ
انا
Kami atau kita adalah hamba- hamba
عَا بِدونَ
نحن
Jika si pembicara itu perempuan, maka ditambah ta’ marbuthah  ةUntuk  (انا) ditambah ta’ marbuthah, da untuk نحن ditambah alif dan ta, dan diletakkan pada khabarnya. Contoh :
قالتْ مريم : انا عا بدةٌ  = Berkata Maryam : “Saya adalah seorang hamba”.
قالتْ المسلماتِ : نحن عا بدَاتٌ = Berkata orang- orang Islam perempuan : “Kami adalah hamba-hamba”.
c)      Mubtada’ pun bisa berupa kata tunjuk (isim isyarah).
Contoh :
Makna
Khabar
Mubtada’
Itulah hukum- hukum Allah (QS. 4 :13).
حدُودُاللهِ
تلكَ
Ini adalah ayat Allah.
ايةُ الله
هذه
Ini adalah kitab Allah.
كتاب الله
هذا
Itu masjid
مسجدٌ
ذلك

d)     Mubtada’ yang diakhirkan (mubtada’ muakhar), mubtada’ yang terletak sesudah khabar, dan khabarnya itu diawali oleh huruf jar atau dzaraf.
Contoh :
عند نارسولٌ = Disisi kami seorang rasul.
وفيكم رسولٌ = Dan pada kamu ada seorang rasul.
في جيدِ هاحبلٌ من مّسدٍ = Di leherya ada tali dari sabut (QS. 111 : 5).
Pada nomor 1 mubtada’nya adalah رسولٌ didahului oleh keterangan tempat عند. Sedangkan pada contoh nomor 2, mubtadanya adalah رسولٌ didahului oleh huruf jar (huruf yang suka mengkasrahkan kata benda), yaitu فِي.
2.         Khabar
Khabar adalah kata benda yang di-rafa-kan yang menerangkan tentang mubtada’ dan umumnya terletak sesudah mubtada’, oleh karena itu tidak khabar kalau tidak ada mubtada’ dan mubtada’-lah yang me-rafa-kan ­khabar.[2] Contoh :
واللهُ بصيرٌ = Dan Allah Maha Melihat (QS. 5 : 71)
وللهُ غفورٌرّحيمٌ = Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS.5:74)
Kata bashirun(بصيرٌ), ghafurun (غفور), dan rahimuun (رّحيمٌ) adalah khabar dan terletak sesudah mubtada’. Kata- kata ini dirafakan oleh kata Allahu kedudukannya sebagai mubtada’.
Khabar dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a)      Khabar Mufrad (khabar tunggal), yaitu khabar yang bukan berupa kalimat (jumlah) dan bukan yang mirip kalimat. Khabar mufrad terdiri dari kata benda tunggal dan kata benda yang menunjukkan banyak.
Orang kafir (laki-laki) itu adalah seorang yang zalim
ظالمٌ
الكافرُ
Dua orang kafir (laki-laki) itu adalah dua orang yang zalim
ظالمَانَ
الكافرانِ
Orang-orang kafir (laki-laki) itu adalah orang-orang yang zalim
ظالمُونَ
الكافرُونَ
Orang kafir (perempuan) itu adalah seorang yang zalim
ظالمَةٌ
الكافرَةُ
Dua orang kafir (perempuan) itu adalah dua orang yang zalim
ظالمتَانِ
الكافرَتاَنِ
Orang-orang kafir (perempuan) itu adalah orang-orang yang zalim
ظالماتٌ
الكافرَاتُ
b)     Khabar Syibhul Jumlah, adalah khabar yang terdiri dari jar-majrur dan zharaf. Jar majrur adalah kata dalam keadaan kasrah karena dimasuki oleh huruf jar beserta jarnya.
Contoh :
المتقون فِي جنّاتٍ ونعيمٍ
Orang-orang yang bertakwa itu di dalam surge dan kenikmatan.
وهوبالاُفقِ اعل
Sedang dia berada di ufuk yang paling tinggi (QS.53:7).
يدُاللهِ فوقَ ايديهم
Tangan Allah di atas tangan mereka (QS.48:10).
Pada contoh 1 (satu) kata fii jannatin (فِي جنّاتٍ ) dan bil ufuqil a’laa  (بالاُفقِ اعل) adalah khabar syibhul jumlah dari jar majrur. Fii (فِي) dan bi (بِ)adalah huruf jar (huruf yang suka mengkasrahkan kata benda). Sedangkan pada contoh 2 (dua), kata fauqa (فوقَ)adalah keterangan tempat (dzaraf makan) menjadi khabar syibhul jumlah (khabar semi kalimat atau khabar yang mirip kalimat).
Ada ahli Ilmu bahasa Arab yang berasumsi bahwa khabar yang berupa dzaraf atau jar-majrur adalah bukan khabar, tetapi khabarnya itu adalah kata yang dibuang. Seperti pada contoh nomor 1 tadi kata yang dibuangnya itu adalah kata mustaqarrun (مستقرٌّ), pada contoh 2 adalah kata kainuun (كائن) dan pada contoh nomor 3 adalah kata maujuduudatun (موجودةٌ).
Semestinya kalimat itu berbunyi :
المتّقون مستقرٌّ فِي جنَّاتٍ وّنعيمٍ
Orang yang bertakwa itu tinggal di dalam surga dan kenikmatan.
وهو كائنٌ بالاُفقِ الاَعلى
Sedang dia berada di ufuk timur yang paling tinggi.
يدُاللهِ موجودةٌ فوقَ ايديهم
Tangan Allah berada di atas tangan mereka.
c)      Khabar Jumlah, adalah khabar yang terdiri dari susunan kalimat mubtada’ dan khabar atau terdiri dari fi’il dan fa’il.
Khabar jumlah yang terdiri dari mubtada’ dan khabar disebut isim ismiyah (kalimat nominal). Adapun khabar yang terdiri dari fi’il dan fa’il disebut jumlah fi’liyah. Yang dimaksud dengan kalimat nominal oleh kata benda atau kata kerja adalah, apabila khabarya terdiri dari mubtada’ dan khabar. Atau khabarnya erdiri dari fi’il dan fa’il.
Macam-macam khabar jumlah :
ü  Khabar jumlah yang terdiri dari mubatada’ dan khabar.
الكافرامّه هاويةٌ
Orang kafir itu tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.
محمّدٌ قولهُ كريمٌ
Muhammad perkataanya mulia.
Orang kafir (الكافر) dan Muhammad (محمّدٌ) adalah mubtada’ sedangkan kata tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah (امّه هاويةٌ) dan kata قولهُ كريمٌ (perkataannya mulia) adalah khabar yang tediri dari mubtada’,yakni : ummuhu (امّه) dan qauluhu (قولهُ). Khabar lainnya lagi adalah kata neraka hawiyah (هاويةٌ) dan kata mulia (كريمٌ).
ü  Khabar jumlah yang terdiri dari fi’il dan fa’il.
اذا السمآءانفطرت واذا الكواكب انتثرت
Apabila langit  terbelah, dan apabila bintang- bintang jatuh berserakan. (QS.82 :1-2)
Kata infatharat (انفطرت) dan intatsarat (انتثرت) adalah khabar yang terdiri dari fi’il dan fa’il. Pelakunya tersembunyi di dalam kata kerja انفطرت dan انتثرت,dikira-kirakan هي.
ü  Khabar yang terdiri dari fi’il dan na’ibul fail.
واذا البحارفجرت واذا القبوربعثرت
Dan apabila lautan dijadikan meluap, dan apabila kuburan- kuburan di bongkar. (QS. 82 : 3-4)
Kata البحار dan القبور adalah mubtada’. Sedangkan kata فجرت dan بعثرت adalah khabar yang terdiri dari fiil dan naibul fail. Pengganti pelakunya tersembunyi di dalam kata فجرت dan بعثرت, dikira-kirakan هي.
ü  Khabar muqaddam, yaitu khabar yang terletak di awal kalimat, dan khabarnya itu terdiri dari jar majrur atau dzaraf.  
في الجنة سررٌمرفوعة
Di dalam surga itu ada tahta tahta yang ditinggikan.
عندا الله عين جارية
Disisi Allah ada mata air yang mengalir.
Kata Fii jannathin (في الجنة)dan ‘inda (عند) adalah khabar muqaddam. Fiil jannati(في الجنة), khabar-nya adalah khabar jar-majrur. ‘Inda (عند), khabar­-nya adalah khabar zharaf.

Kata kata yang suka masuk pada mubtada’ khabar dapat mempengaruhi mubtada’ dan khabar-nya. Kata- kata itu adalah : Kanna dan teman-temannya, dzanna dan teman-temannya, dan Inna dan teman-temannya.
Dalam makalah ini, sesuai dengan Satuan Acuan Perkuliahan (SAP) penulis hanya akan menjabarkan sedikit tentang Inna dan saudara- saudaranya.
Yang dimaksud disini adalah inna dan teman-temannya yang suka menashabkan mubtada’ dan me-rafa-kan khabar. Inna dan saudara- saudaranya disini memiliki tujuh huruf, yaitu :


اِنَّ,اَنَّ,كَاَنَّ,لَكِنَّ,لَيْتَ,لَعَلَّ
 
 


اِنَّ dan اَنَّ
(sesungguhnya). taukid.
Contoh :
اِنّ اللهَ عليمٌ قديرٌ
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (Q.S 16 :70)
كَأَنَّ
(seolah-olah/ seperti/ seakan- akan). tasybih
Contoh :
كانّهُم خشبٌ مسنّدةٌ
Mereka adalah seakan akan kayu yang tersandar. (Q.S 63:4)
لَكِنَّ
(akan tetapi) istindrak.
Contoh :
الاّان يشَآءاللهُ ولكِنَّ اكثرهم يجهلونَ
….kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui/ (Q.S 6 :111)
لَيْت
(semoga/mudah-mudahan (angan-angan))
Contoh :
قالىيليتَقومِي يعلمونَ
.....Ia berkata “alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui” . (Q.S 32:26)
لَعَلَّ
(mudah-mudahan atau semoga (pengharapan))
Contoh :
لاتدْرِي لعّل اللهَ يحدِثُ بعد ذلك امرًا
Kami tidak mengetahui barangkali/ mudah mudahan Allah mengadakan sesudah itu hal yang baru. (Q.S 65 :1)

                 B.     Al-tawabi’ li almarfu’ ( Ataf, Na’at, Badal, Taukid)
Tawabi’ adalah kata keterangan dan kata yang tidak tersentuh oleh perubahan di akhir kata (i’rab) secara langsung melainkan sebab mengikuti kata sebelumnya, sesuai dengan bentuk i’rab empat dan dengan keberadaan kata itu sendiri.
Macam-macam tawabi’ ada 4, yaitu:
1.    Na’at (kata sifat)
a.       Definisi: kata yang terletak setelah kata lain dengan tujuan untuk memperjelas sebagian dari keadaan (makna) kata sebelumnya atau kata yang berhubungannya.

b. Pembagian:
1) Mufrad: berbentuk kata tunggal, walaupun maknanya tastniyyah atau jamak, bukan jumlah ataupun menyerupai jumlah. Lihat ayat berikut: QS (9) ayat 3
    
2) Jumlah: berbentuk jumlah, dengan syarat:
     Berupa jumlah kabariyyah, bukan thalabiyyah. Lihat ayat berikut: QS (2) ayat 24
    
3) Harus memuat dhamir yang menggantikan makna dalam mawshuf (kata yang disifati), baik berupa dhamir yang tampak maupun mustatar seperti dalam firmanNya: QS Al Baqarah 48
     “Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun”. Kata yang bergaris bawah adalah na’at jumlah yang memuat dhamir tetapi tidak terlihat, dan bila ditampakkan berbentuk:
    
4) Syibh jumlah: berupa dzaraf atau kata yang diajarkan dengan huruf jar. Lihat ayat berikut QS (42) ayat 7
 
c. Bentuk: Naat dari pembagian diatas digolongkan dalam dua bentuk:
1)       Hakiki
a)   Pengertian: naat yang berfungsi untuk menjelaskan salah satu sifat dari beberapa sifat yang terkandung dalam mawshufnya. Lihat QS (9) ayat 99
b)   Syarat: naat hakiki harus muthabiq (serasi) dengan mawshufnya dalam beberapa ha, yakni:
-                      I’rab
-                      Tunggal, tastniyyah dan jamaknya
-                      Bentuk makna nakirah dan makrifatnya
-          Jenis makna, laki-laki atau perempuan (mudzakar dan muannats)
2)    Sababi
a)   Pengertian: naat yang menjelaskan salah satu sifat dari kata yang berhubungan atau memuat dhamir pada mawshufnya. Seperti QS (42) ayat 7
b)   Pembagian:
-                   Memuat dhamir pada man’ut/mawshuf/kata yang disifati.
Naat sababi yang ini harus sama/serasi (muthabiq) dengan man’utnya dalam dua hal:
*      Tunggal, tastniyyah dan jamaknya
*      Mudzakar dan muannatsnya
-       Tidak memuat dhamir. Dan naat sababi yang demikian juga harus muthabiq dengan mawshufnya dalam dua hal, tetapi berbeda dengan naat sababi yang memuat dhamir. Yakni:
*      I’rab
*      Nakirah dan makrifatnya
Perhatikan ayat berikut QS (2) ayat 69
c)   Maqthu’: Maqthu’ artinya terputus, dan yang dimaksud isini ialah terputusnya hokum na’at pada suatu kata yang seolah adalah naat, tapi sebenarnya kata tersebut adalah khabar dari mubtada yang terbuang atau maf’ul bih dari kata kerja yang terbuang pula. Demikian karena ada suatu tujuan yang tidak tampak dalam kalimat dan biasanya tujuannya berbentuk “madh/memuji, dzam/mencela” atau “tarahhum/berbelas kasihan”, seperti dalam firmanNya: QS Allahab 3-4
“Kelak Dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu nakar”. Kata yang bergaris bawah adalah objek/maf’ul bih dari kata kerja yang terbuang, bbila tampak berbentuk:
“yakni, Aku mencela pembawa kayu bakar”.
2.    Taukid
a.    Definisi: ketetapan (hokum makna kalimat) terhadap suatu hal. Kata yang ditetapkan hukumnya dinamakan (muakkad/kata yang ditawkid/ditetapkan) dan kata yang menetapkan dinamakan (muakkid/kata yang menetapkan). Muakkid I’rabnya mengikuti muakkad.
b.   Pembagian:
1)    Lafdzi
a)      Pengertian: mengulang kembali kata yang di tawkidi (muakkad) dengan kata yang sama atau sama maknanya, baik berupa isim dzahir, dhamir, fiil, huruf atau jumlah. Diantaranya adalah firman Allah SWT QS Al Baqarah 35
“Dan Kami berfirman: “ Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surge ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang dzalim”. Kata yang bergaris bawah mentawkidi kata yang merupakan dhamir mustatar wujub (dhamir yang wajib tersimpan) yang terdapat dalam kata perintah
b)      Faidah: menetapkan hokum (makna kalimat) bagi pendengar (dalam contoh diatas adalah Adam) dan memantapkannya dalam hati serta menghilangkan keraguannya.
2)      Maknawi
a)     Definisi

b)    Faidah:
Fungsi tiga kata ini untuk menghilangkan kemungkinan adanya majaz (penggunaan kata tidak sesuai dengan makna asalnya), atau adanya lupa dalam pengucapannya. Contoh:
*       “kaum itu, sudah datang seluruhnya”.
*       “kaum itu sudah datang, yakni mereka sendiri (bukan pimpinan.barangnya siapa)”.
menunjukkan makna “ihathah” atau “syumul” (yakni bahwa makna kalimat tercakup secara keseluruhan dalam hubungannya dengan muakkad). Contohnya:
*       “kaum itu, sudah dating seluruhnya”.
*       “kaum itu, sudah dating seluruhnya”.
menetapkan hukum (makna kalimat) untuk dua orang yang ditawkidi bersama. Lihat ayat berikut: QS 17 ayat 23, QS 18 ayat 33, dan QS 17 ayat 23


3.   Badal
1)      Definisi: kata yang mengikuti kata sebelumnya dengan tanpa perantara (semisal huruf) dan merupakan kata yang dimaksudkan dalam hukum kalimat. Kata yang menggantikan dinamakan “badal” dan yang digantikan dinamakan “mubdal minhu”.
2)      Pembagian:
a)      Muthabiq/badal kull min kull: kata yang mewakili (makna) kata yang sama maknanya seperti dalam firmanNya: QS Al Fatihah 6-7
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”.
b)    Badal ba’dh min kull: kata yang mewakili sebagian dari (makna) pada mubdal minhunya. QS: (73) ayat 1-3
c)     Badal mubaayin: kata yang menjelaskan mubdal minhunya. Dan yang dimaksud “menjelaskan” disini adalah:
-       Ghlatah: kata mewakili mubdal minhu disebabkan mubdal minhu dikatakan dengan tidak sengaja.
Seperti “aku melihat kuda, maksud saya Zaid (pemilik kuda itu)”.
-       Nisyan: kata yang mewakili mubdal minhu disebabkan mubdal minhu dikatakan tetapi disebabkan lupa.
Seperti“aku shalat menghadap Ka’bah, maksudnya Kiblat”.
-       Idhrab: kata yang mewakili mubdal minhu disebabkan orang yang berbicara mengalihkan tujuan pada (kalimat yang telah diucapkan) kata tersebut. Seperti contoh diatas hanya kondisi mutakallim saja, apakah ia menyebut badal sebab lupa, salah atau tidak sengaja.
3)      Bentuk: dari semua jenis dan bagian-bagian badal ini, badal memiliki beberapa bentuk:
a)      Badal dari mubdal minhu isim dzahir. Lihat ayat berikut: QS (2 ayat 217
b)      Badal dari mubdal minhu isim ghaib (orang ketiga) menggunakan isim dzahir. Contoh: QS Al Anbiya’ ayat 3
“dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: “Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu”.
 mewakili dhamir (wawu/damir yang menunjukkan orang ketiga, laki-laki dan jamak) dalam kata yang bergaris.
-       Badal fi’iil dari mubdal minhu fi’il
     Contoh: QS Al Furqan ayat 68-69
“Dan orang-orang yang tidak menyembah Allah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina”.
-       Badal jumlah dari mubdal minhu jumlah. Contoh: QS As Syuraa ayat 132-133
“Dan bertawakalah kepada Allah yang telah menganugerahkan kepadamu apa yang kamu ketahui. Dia telah menganugerahkan kepadamu binatang-binatang ternak, dan anak-anak”.
4.   ‘Athaf
a.       Pengertian: ‘Athaf merupakan kata atau kalimat yang hokum maknanya atau i’rab serta bentuknya mengikuti kata atau kalimat lain. Kata atau kalimat yang mengikuti dinamakan ma’thuf dan yang diikuti dinamakan ma’thuf ‘alaih.
b.      Pembagian:
1)      Bayan
a)      Definisi: kata yang I’rabnya mengikuti kata lain sebagai mana na’at dalam hal memperjelas tujuan (dalam kalimat).
b)      Hukum dan syarat: ‘Athaf bayan ini memiliki syarat dan tanda dalam ma’thufnya hingga dapat dibedakan bedal atau na’at:
-          Harus lebih jelas dan lebih mudah dikenali maknanya daripada ma’thuf ‘alaihnya
-          Harus muthabaqah (sesuai) dengan ma’thuf alaihnya dalam I’rab, mufrad, tastniyyah, jamak, mudzakar, muannats, makrifat, dan nakirahnya. Lihat berikut ini: QS (3) ayat 97
2)      Nasaq (‘athaf dengan huruf)
a)      Definisi: mengikutkan ma’thuf pada ma’thuf ‘alaih dalam I’rab dengan tujuan tertentu dan menggunakan huruf sebagai alatnya.
b)      Huruf a’thaf: huruf yang digunakan untuk ‘athaf disini ada 9, yaitu “wawu, fa, tsumma, hatta, awa, am, bal, la, lakin
c)      Makna dan fungsi huruf ‘athaf
-          Wawu: mengumpulkan secara mutlak dalam I’rab dan hukum pada ma’thuf dan ma’thuf ‘alaih. Lihat QS (12) ayat 22
-          Fa: tartib dan ta’qib, yakni terjadinya hukum dalam kalimat secara beriringan dalam ma’thuf dan mathuf ‘alaih. Lihat QS (82) ayat 7
-          Tsumma: tartib tarakhi, yakni terjadinya hukum kalimat dalam ma’thuf setelah ma’thuf ‘alaihnya. Lihat QS (32) ayat 7-8
-          Hatta: ghayah, yakni hukum/makna kalimat tujuannya terletak pada ma’thuf. Tetapi, ‘athaf dengan menggunakan “hatta” tidak banyak makna dalam hal ini “hatta” yang berfungsi sebagai huruf ‘athaf memiliki tanda. Tanda tersebut terletak pada ma’thuf (bukan jumlah), merupakan bagian dari ma’thuf ‘alaih serta maknanya bersifat lebih mulia atau lebih rendah. Seperti:  “aku makan ikan sampai kepalanya”.
-          Aw: makna dan fungsi huruf ini dalam ‘athaf berbeda-beda dengan melihat kalimat/jumlah yang ada:
*         Bila kalimatnya berbentuk thalabiyyah (perintah) “aw” memiliki makna:
ü  Takhyir: perintah untuk memilih diantara ma’thuf atau ma’thuf ‘alaih. Seperti:  “nikahilah Fatimah atau saudaranya”.
ü  Ibahah: perintah pada dua atau lebih hal yang satu diantaranya bila telah dilakukan maka telah mewakili dalam perintah tersebut. Seperti dalam hadits:
“jadilah kamu orang alim, atau cinta terhadap ilmu atau mendengarkannya dan jangan jadi orang yang keempat”. Lihat QS (24) ayat 61
ü  Idhrab: Seperti dalam syair berikut.
“mereka berjumlah delapan puluh, maksudnya lebih dari itu, andai tidak ada harapanmu itu niscaya telah aku bunuh anak-anakku”.
*      Bila kalimatnya berbentuk khabariyyah (berita) “aw” bermakna:
ü  Assyak: menimbulkan keraguan dalam ma’thuf dan ma’thuf ‘alaih. Contoh: QS Al Kahfi ayat 19
“berkatalah salah seorang diantara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)”. mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”.
ü  Ibham: menimbulkan makna samar pada ma’thuf dan ma’thuf ‘alaih. Contoh: QS As Saba ayat 24

           
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi? Katakanlah: “Allah”, dan Sesungguhnya Kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata”.
ü       Taqsim: untuk membagi-bagi (hukum
makna kalimat) dalam ma’thuf dan ma’thuf ‘alaih. Contoh: QS Adz Zariyat ayat 52
“Demikianlah tidak seorang Rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: “Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila”.
-          Am: dalam ‘athaf “am” miliki dua makna yang masing-masing melihat kalimat dimana “am” itu berada:
*      Muttashilah: yaitu “am” yang ma’thuf tidak bisa berdiri sendiri (maknanya) dengan tanpa ma’thuf ‘alaih demikian ma’thuf ‘alaih juga tidak dapat berdiri sendiri (dalam kesempurnaan kalimat) dengan tanpa adanya ma’thuf. Selain itu “am” muttashilah terletak setelah hamzah “A” istifham terletak atau bermakna taswiyyah (sama-saja). Contoh: QS Al Baqarah ayat 6
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman”.
*         Munqathi’ah: huruf yang digunakan untuk memotong kalam/kalimat pertama kemudian kalimat kedua (yang terletak setelah “am”) adalah jumlah isti’nafiyyah/permulaan kalimat. Contoh: QS At Thuur ayat 38-39
“Ataukah mereka mempunyai tangga (kelangit) untuk mendengarkan padatangga itu (hal-hal yang ghaib)? Maka hndaklah orang yang diantara mereka mendatangkan suatu keterangan yang nyata. Ataukah untuk Allah anak-anak perempuan dan untuk kamu anak-anak laki-laki?”.
-          Lakin: Istidarak, yakni menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dalam hukum makna kalimat adalah ma’thuf, bukan ma’thuf ‘alaih. Dan “lakin” berfungsi sebagai huruf ‘athaf harus berada dalam kalimat negatif atau nahiy (perintah larangan) serta ma’thufnya mufrad, dan bila ma’thufnya berbentuk jumlah maka “lakin” adalah huruf isti’naf.
Contoh:  “tidak Ali tidur, melainkan Ahmad”.
-          Bal:
*      Bermakna idhrab bila terletak pada kalimat positif baik berupa kalimat berita ataupun khabr. Dan makna idhrab ini ada dua macam:
ü  Ibthal: makna hukum pada ma’thuf ‘alaih dibatalkan secara mutlak. Seperti dalam firmanNya: QS Al Anbiya ayat 26
“Dan mereka berkata: “ Tuhan yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak”, Maha suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan”.
ü Intiqal: makna hukum pada ma’thuf ‘aliah dipindah ke ma’thuf. Seperti dalam firmanNya: QS Al A’laa ayat 14-16
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan Dia ingat nama Tuhannya, lalu Dia sembahyang. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi”.
*       Bermakna istidrak seperti “lakin” bila terletak pada kalimat negatif atau nahiy (perintah larangan).Lihat QS (3) ayat 169
*      Syarat “bal” menjadi huruf ‘athaf: setelahnya berbentuk kata mufrad (bukan jumlah). Bila berbentuk jumlah maka “bal” adalah huruf isti’nafiyyah. Seperti dalam QS (23) ayat 70
-          Laa: huruf naïf, berfungsi untuk menetapkan hukum pada kata yang terletak setelahnya dengan menghilangkan pada kata tersebut bila “la” terdapat pada kata negatif yang tidak disebabkan oleh “la” tersebut. Selain itu, ma’thuf dengan huruf “la” harus berbentuk mufrad. Seperti:
c.       Bentuk ‘athaf
1)      ‘Athaf isim dzahir pada isim dzahir: seperti contoh diatas
2)      ‘Athaf isim dhamir pada isim dzahir, seperti:
3)      ‘Athaf isim dzahir pada isim dhamir, seperti:
4)      ‘Athaf isim dhamir pada isim dhamir:
a)      Ma’thufnya ditawkidi dengan dhamir munfasil, atau
b)      Dipisah antara ma’thuf dan ma’thuf ‘alaih. Contoh: QS Al Maidah ayat 24, QS Ar Ra’d ayat 23, QS Muhammad ayat ayat 36
“Mereka berkata: “Hai Musa, Kami sekali sekali tidak akan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, Sesungguhnya Kami hanya duduk menanti disini saja”.
(yaitu) syurga ‘And yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu”.
Kata  Athaf pada dhamir “wawu” pada kata  Dan dipisah dengan dhamir “haa”.
5)      ‘Athaf fi’il pada fi’il, seperti dalam firman Allah SWT:
“Dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu”. 

                      C.    Al-fi’lu al- Mudari’
Fiil mudhori’ itu rafa’ ( marfu’), bila kosong dari amil nashab dan amil jazam (murfu’-un litajarrudihi ‘anin Nashibi wal Jazimi).  Contohnya :
                                                                                    ق با الرا عى تصلح الر عىة          Asalnya rafa’ fiil adalah dengan dhammah, lalu digantikan dengan nun ( ن ) pada af’alul khamsah. [3]Contoh :
-          Dengan dhammah        يتكلم               
-          Dengan nun    يسمعو ن                     
Tanda-tanda Rafa’nya ada 6 ( enam) , yaitu :
              1.      Dhommah Zohirah.
Ini berlaku bagi setiap fi’il mudhori’ yang shahih huruf akhirnya.
 Contoh :
a.       Kerbau itu berkumpul dalam lumpurالجا موس يتمرع قى الموحل      
b.      Murid (pr) itu pura-pura sakit                               التلميذة تتما رض
c.       Ayahku menasehati sayaا بى يعظنى                                     
              2.      Dhammah muqaddarah ‘alal alif ( dhammah yang dikira-kirakan alif).
Ini berlaku bagi fi’il Mudhari’ dengan alif.
 Contoh :
a.       Sungguh dia kelak akan ridha (puas) و لسوف يرضى                                  
b.      Dia akan masuk kedalam nerakaسيصلى نا را                                           
c.       Tidak masuk kedalam nerakanya kecuali orang-orang yang celaka  لا يسلى ها الا الاشقى
             3.      Dhammah muqaddarah ‘alal Wa-wi ( dhammah yang dikira-kirakan atas waw).
Ini berlaku bagi fi’il mudhori’ yang mu’tal dengan waw.
 Contoh :
a.       Padi itu tumbuh sedikit demi  sedikitالا رز ينمو قليلا قليلا                   
b.      Dia berdoa kepada Allahهو يد عوالله
c.       Anak kecil itu merangkak diatas lantaiالطفل يحبو                              
               4.      Dhammah muqaddarah ‘alal ya’ ( dhammah yang dikira-kirakan atas ya )
Ini berlaku bagi fi’il mudhori’ yang mu’tallul akhir dengan ya’.
Contoh:
a.       Orang islam shalat di mesjidالمسلم يصلى فى المسجد                             
b.      Orang yang menafkahkan hartanyaالذى يؤتى ماله                             
c.       Allah akan menjuluki orang yang dikehendakinyaيهدى الله من يشاء      
Tanda-tanda rafa’ bagi ketiga macam fi’il mu’tal tersebut bisa disatukan saja menjadi : dhammah muqaddarah ‘alaa A-khirihi. Ini juga berlaku bagi lafof mafruq dan maqrun.
           5.      Tsubutun Nun (tetapnya nun)
Ini berlaku bagi fi’il mudhori tang termasuk af’alul khamsah.
Contoh :
a.       Ialah mereka yang beriman dengan yang ghaibالذ ين يؤمنون بالغيب     
b.      Dan mereka yang mendirikan shalatويقيمون الصلاة                           
c.       Dua mahasiswa itu sedang belajarالطا لبان يتعلمان                            
d.      Dua mahasiswi itu sedang belajar                           الطا لبتان تتعلمان              
e.       Kamu berdua menonton TV                                 انتما تشاهدان التلفاز
f.       Kamu semua menonton TVانتم تشاهدون التلفاز                                    
             6.      Nun yang dibuang (an Nu-nul Mahdzu-fah).
Ini berlaku bagi af’alul khamsah yang bersambung dengan nun taukid.
 Contoh :
a.       Sungguh akan melihat neraka jahimلترون الجحيم                               
b.      Kemudian kamu akan ditanyaiثم لتساءلن                                           
c.       Sungguh mereka berdua akan pergiليذهبان                                       
d.      Sungguh kamu berdua akan dipukulلتضربان                                     
e.       Sungguh mereka akan memanggil temannyaليدعن                             
f.       Engkau betul-betul belajarلتتعلمن                                                    



Tanda-tanda bunyi fi’il mudhori’ dalam keadaan rafa’ (marfu’un)
Pelaku
Tanda bunyi rafa’
Fi’il mudhori’
No
هو
Harakat dhammah
يذهبون
١
هما
Huruf nun  ( ن)
يذهبان
٢
هم
Huruf nun  ( ن)
يذهبون
٣
هي
Harakat dhammah
تذهب
٤
هما
Huruf nun (ن )
تذهبان
٥
هن
-----------------
---------
٦
انت
Harakat dhammah
تذهب
٧
انتما
Huruf nun  ( ن )
تذهبان
٨
انتم
Huruf nun   ( ن )
تذهبون
٩
انت
Huruf nun   ( ن )
تذهبين
١٠
انتما
Huruf nun  ( ن )
تذهبان
١١
انتن
------------------
---------
١٢
انا
Harakat dhammah
اذهب
١٣
نحن
Harakat dhammah
نذهب
١٤
هو
Huruf illat alif  ( ى )
يجشى
١٥
هو
Huruf illat wawu ( و )
يدعو
١٦
هو
Huruf illat yak  ( ي )
يجري
١٧


Keterangan :
a)    Dua buah fi’il yaitu no 6تذهبن dan no 12يذهبن memang sengaja tidak dicantumkan dalam daftar tersebut, karena keduanya termasuk kalimat mabniyyah, dan oleh sebab itu jelas tidak mungkin mengalami perubahan bunyi.
b)   Disamping itu fi’il-fi’il yang lain pun bisa menjadi mabniyyah, apabila dirangkaikan dengan nun taukid yang berarti “sungguh-sungguh” , sepertiيذهب  ditambahkan nun taukid menjadiيذهبن  , ini adalah kalimah mabniyyah.
c)    Fi’il nomor 2,3,5,8,9,10,11 dalam tata bahasa arab mempunyai sebutan khusus yaitu “af’alul khamsah”, artinya fi’il-fi’il yang berjumlah lima. Adapun tanda-tanda af’alul khamsah ialah: setiap fi’il mudhori’ yang diakhiri dengan nunن  , dan sebelum huruf nun itu terdapat huruf alif, wawu, atau yak. Sebenarnya jumlah tersebut bukan lima, melainkan tujuh sesuai dengan hitungan diatas. Akan tetapi karena ada tiga diantara fi’il-fi’il itu yang bentuknya sama yakni nomer 5,8,11, maka dari ketujuh fi’il itu hanya dihitung lima.
d)   Af’alul khamsah, dalam keadaan rafa’ bukan ditandai dengan harakat dhammah melainkan dengan huruf nun. Dalam buku-buku nahwu, biasanya disebutkan bahwa af’alil khamsah itu rafa’nya ditandai dengan “tsubuutun nuun”, yang berarti “tetapnya huruf nun”. Tetap, maksudnya ada atau dipakainya huruf nun sebagai tanda bunyi pada waktu fi’il yang bersangkutan dalam keadaan rafa’.
e)    Tiga buah fi’il mudhari’ yang terakhir, dalam tata bahasa Arab disebuah fi’il mu’tal akhir. Maksudnya, ialah semua fi’il yang diakhiri dengan huruf illat (ا و ي). Tentang apa itu huruf illat, kiranya sudah jelas yaitu huruf yang dalam istilah nahwu dikatakan “berpenyakit”. Justru dalam praktek yang perlu dijelaskan, khususnya huruf illat alif. Karena seperti contoh diatas, alif tersebut ditulis dalam bentuk melengkung sehingga menyerupai huruf yak ( ى ). Itulah yang namanya alif layyinah.


BAB III
PENUTUP
Jadi untuk mempermudah kita membaca ataupun menyusun kalimat dalam bahasa Arab yang tidak ada syakalnya, kita harus mengetahui jenis dalam bacaan tersebut, sifatnya dalam kalimat dan lain sebagainya. Ketika kita salah dalam meletakkan atau membaca kalimat tersebut bisa jadi salah dalam penafsirannya. karena setiap mufrodad atau kosa kata bahasa Arab itu memiliki banyak kemiripan dalam kata.
Dalam makalah ini, penulis menjabarkan mengenai Khabar inna dan saudara-saudaranya, at-Tawabi’ul li al-Marfu’ dan al-Fi’lu al-Mudari.
Sebagaimana telah disebutkan dalam  makalah, Khabar Inna dan saudara- saudaranya berupa اِنَّ,اَنَّ  yang digunakan untuk taukid (sesungguhnya), كَاَنَّ peumpamaan (seolah-olah), لَكِنَّ istindrak (tetapi), لَيْتَ mudah-mudahan (angan- angan), dan  لَعَل mudah-mudahan (pengharapan).
Dan at-Tawabi’ul al Marfu’ ada ‘ataf sebagai kata penghubung, na’at adalah sifat, badal sebagai pengganti atau penegas,dan taukid adalah ketetapan. Kemudian yang terakhir al-fi’lu al-Mudari, fiil mudhari sendiri memiliki makna kata kerja yang sedang atau akan dilakukan. Fiil mudhori’ itu rafa’ ( marfu’), bila kosong dari amil nashab dan amil jazam. Asalnya rafa’ fiil adalah dengan dhammah, lalu digantikan dengan nun ( ن ) pada af’alul khamsah


[1] Rahman, Salimuddin, Jamaluddin, dkk. Tata Bahasa Arab untuk Mempelajari al-Quran. Sinar Baru. Bandung. 1990. hlm 164.
[2] Rahman, Salimuddin, Jamaluddin, dkk. Tata Bahasa Arab untuk Mempelajari al-Quran. Sinar Baru. Bandung. 1990. hlm 169.
[3] Hifni Bek Dayyab,dkk , kaidah tata bahasa arab ( cetakan ketiga), ( Jakarta, Darul Ulum Press), hal 110.

1 komentar: